perdagangan-perempuan-akibat-himpitan-biaya-hidup

Perdagangan Perempuan (traffiking) adalah tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan dengan penyalahgunaan kekuasaan sehingga memperoleh persetujuan dari orang tua yang memegang kendali anaknya, baik yang dilakukan di dalam negara maupun luar negara untuk tujuan eksploitasi.

Penjualan perempuan (traffiking) biasanya dimanfaatkan untuk pengiriman buruh migran perempuan dibawah umur yang melanggar ketentuan peraturan, bisnis prostitusi dan untuk kawin kontrak. Ini terjadi karena himpitan biaya hidup, terjerat hutang serta kondisi perempuan  miskin sehingga kurangnya pendidikan di usia kerja atau kejadian yang tak pernah disadari tidak diduga sebelumnya oleh orang yang mengalami atau si kurban.

Perdagangan perempuan dengan memanfaatkan kerentanan orang tua yang tidak ada pilihan lain, ketergantungan obat, terjebak hutang dengan begitu perempuan tersebut tidak bisa tidak harus menerima tawaran itu,”kata Susi Setiawati yang didampingi Ketua TP PKK Jaksel Astati Syahrul Effendi dan Kepala Kesbang dan Politik Erpawandi saat penyelenggraan pelaksanaan peningkatan dan pengembangan politik bagi perempuan di kantor walikota Jaksel, Kamis (8/4).

Susi yang juga dosen paskah sarjana di UI tersebut mengatakan trafiking tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan pemukulan, trauma bahkan kematian. Sedangkan pelaku trafiking menipu, mengancam dan mengintimidasi serta melakukan tindak kekerasan kurban ke dalam prostitusi. Pelaku trafiking menggunakan berbagai tehnik untuk menanamkan rasa takut pada kurban agar terus bisa diperbudak.

Beberapa cara yang dilakukan si pelaku terhadap kurban agar bisa terus menjadi budaknya dengan menahan gaji agar si kurban tidak punya uang tidak bisa melarikan diri, juga menahan dokumen penting agar kurban tidak bisa bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi serta membatasi hubungan dengan pihak luar agar kurban terisolasi dari mereka yang dapat menolong,”ujar Susi.

Susi tambahkan pelaku perdagangan perempuan biasa seperti mucikari pengelola rumah bordir, pengusaha yang bisnisnya memerlukan perempuan muda yang dipekerjakan di panti pijat, karoake dan hiburan malam lainnya dan para pebisnis pariwisata yang juga menawarkan jasa layanan wisata seks,”terangnya.

Hingga saat ini pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan perundangan untuk melindungi perempuan dan anak yang menjadi kurban kekerasan antara lain, UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi kurban, UU No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dan pelaksanaannya melalui PP No.9 tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme perlindungan saksi dan atau kurban tindak pidana perdagangan orang.